Tuesday, September 20, 2016

10 Mitos Entrepreneurship yang Tidak Selalu Benar




Hai sobat BL semua, hari ini mau sharing satu artikel menarik dari salah satu entrepreneur top Indonesia yaitu Ir. Ciputra. Yuk disimak langsung.
.
Selama bertahun-tahun saya mencoba merenung tentang semua pengalaman saya dalam dunia entrepreneurship, saya pun menemukan beberapa mitos yang berkembang. Salah satu yang paling banyak saya temui ialah bahwa masih banyak orang Indonesia yang menganggap entrepreneurship merupakan sebuah bakat genetis, bukan sebuah bidang ilmu pengetahuan yang ilmiah dan bisa dipelajari. Berkali-kali saya serukan bahwa itu kurang benar. Semua orang, tanpa memandang suku, agama, ras, status sosial, bisa mempelajari entrepreneurship. Tinggal tekad, kemauan dan kerja kerasnya tinggi atau tidak.

Itu hanya satu mitos saja. Tetapi saat saya membaca paparan Donald F. Kuratko mengenai mitos-mitos entrepreneurship, saya menyadari bahwa mitos lain juga banyak berkembang. Tak hanya di negara kita saja, tetapi mitos-mitos ini juga bisa dijumpai di banyak negara.

Mitos 1: Entrepreneur bertumpu pada tindakan bukan pikiran
Entrepreneur memang menekankan eksekusi, pelaksanaan, tindakan nyata. Akan tetapi saya juga sadari bahwa diperlukan sebuah pemikiran mendalam sebelum seorang entrepreneur bertindak. Entrepreneur idealnya mampu menyeimbangkan antara dua aspek ini: tindakan dan pikiran.

Mitos 2: Entrepreneurship ialah bakat yang tak bisa dipelajari
Seperti yang pernah diungkapkan Peter F. Drucker, saya juga yakin bahwa entrepreneurship merupakan disiplin ilmu yang bisa dipelajari dan diterapkan semua orang di muka bumi. Memang ada sifat-sifat tertentu yang bisa ditemukan dalam kepribadian para entrepreneur sukses, namun entrepreneurship juga memiliki model, proses, dan studi kasus yang semuanya bisa ditelaah secara ilmiah dan dipelajari.

Mitos 3: Entrepreneur juga penemu
Tidak selalu benar. Entrepreneur tak selalu harus menemukan atau merancang produk baru. Meskipun banyak penemu juga seorang entrepreneur, tapi pada kenyataannya banyak entrepreneur memiliki banyak bidang yang mereka geluti.Yang paling penting ialah bahwa entrepreneurship mesti dipahami sebagai sebuah pemahaman menyeluruh mengenai perilaku inovatif dalam segala bentuk dan macamnya.

Mitos 4: Entrepreneur adalah mereka yang terasing dalam masyarakat dan sekolah
Asumsi bahwa entrepreneur ialah mereka yang tidak sesuai dengan lingkungan sosial dan akademis dilatarbelakangi oleh banyak ditemuinya pemilik bisnis yang melejit setelah ia tinggalkan bangku pendidikan atau dianggap eksentrik oleh orang-orang di sekitarnya. Ini tidak sepenuhnya benar karena ini bisa terjadi karena iklim dan spirit sekolah-sekolah kita masih belum siap mengenali bakat-bakat entrepreneurship dalam diri anak-anak didiknya. Entrepreneur juga masih perlu pendidikan, baik formal dan informal, karena tantangan dalam bisnis terus berkembang. Pendidikan sepanjang hayat bagi entrepreneur adalah kewajiban jika tak ingin tergulung persaingan.

Mitos 5: Entrepreneur harus sesuai persyaratan
Mungkin Anda sudah banyak temukan banyak bacaan yang memuat karakteristik entrepreneur sukses. Saat Anda ingin menjadi entrepreneur sukses, Anda pun menjadikan daftar ini sebagai acuan ,dan saat Anda merasa tidak memenuhi sebagian syarat-syarat itu, Anda merasa gentar dan mengurungkan niat terjun berbisnis. Saya himbau jangan jadikan itu semacam patokan wajib, anggap saja sebuah panduan yang fleksibel. Bagaimanapun juga tak satu pihak pun bisa menentukan apakah seseorang akan menjadi entrepreneur sukses atau tidak di masa depan. Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Jika memang Anda lemah dalam beberapa aspek, jalinlah kerjasam dengan mereka yang memiliki kelebihan dalam aspek yang menjadi kelemahan Anda. Tak perlu menunggu menjadi sempurna untuk bisa merintis usaha.

Mitos 6: Uang mutlak diperlukan dalam membangun bisnis
Benar bahwa setiap bisnis perlu uang untuk berjalan. Tetapi saat Anda menganggap ada tidaknya uang sebagai satu-satunya faktor penentu kesuksesan, maka Anda harus mengubah pola pikir itu. Kita memang banyak temui perusahaan bangkrut secara finansial karena tak ada dana tetapi kita lupa bahwa sesungguhnya masalah keuangan yang muncul itu hanya indikator paling mudah dirasakan dari memburuknya aspek-aspek lain dalam bisnis yang kita miliki. Perencanaan yang buruk, kemampuan manajemen yang acak-acakan, komunikasi yang kurang, bisa jadi adalah akar masalah sebenarnya. Maka dari itu, jadikan kekayaan yang kita miliki sebagai sebuah alat bukan tujuan akhir.

Mitos 7: Entrepreneur mutlak perlu keberuntungan
Menemukan peluang yang tepat di saat yang tepat menjadi idaman bagi banyak entrepreneur. Sayangnya, banyak entrepreneur menganggap keberuntungan hanya sebuah kebetulan, minus kerja keras. Kenyataannya, keberuntungan juga merupakan sesuatu yang harus dibangun. Ia tak datang begitu saja menghampiri orang. Keberuntungan perlu dibangun dengan cara membangun kesiapan diri sebelum peluang emas mendatangi Anda.

Mitos 8: Entrepreneurship tak memiliki tatanan
Saya menemui banyak entrepreneur muda yang terlihat memiliki kepribadian periang dan penuh passion dalam menjalankan usaha mereka. Sekilas tak nampak kemampuan untuk mengatur. Padahal sebenarnya mereka memiliki sistemnya sendiri, dan sistem ini sering tidak bisa dipahami orang lain. Entrepreneur bukan sosok penuh kecerobohan yang asal menggarap peluang bisnis tertentu, mereka memiliki sistem berpikir yang unik, dan tak banyak dipahami orang kebanyakan.

Mitos 9: Mayoritas usaha baru pasti gagal
Banyak entrepreneur terjungkal sebelum mengecap keberhasilan. Kegagalan ini memang lazim dialami tetapi bukan itu yang paling penting. Hal terpenting dari kegagalan ialah bagaimana kita bisa mengambil pelajaran di baliknya. Saat entrepreneur mampu mempelajari dan menerapkan pelajaran itu dalam langkahnya yang berikut, maka ia pun makin dekat dengan keberhasilan. Anggap saja sebagai proses yang harus dilalui dan dinikmati agar diri kita menjadi sosok pribadi yang pantas untuk menikmati sukses.

Mitos 10: Entrepreneur ambil risiko baru berpikir
Konsep risiko harus dipahami sebagai risiko yang sudah diukur sebelumnya. Diperlukan pengamatan, kalkulasi dan penelitian untuk mengukur risiko yang akan diambil. Inilah yang kurang dipahami banyak orang.
.
.

0 comments:

Post a Comment